BETA
Pemberontakan Anak II
Sumber: telaga
Id Topik: 1046

Abstrak:

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerima-nya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak. Dan pemberontakan anak bisa dilihat dalam beberapa hal, kemudian bagaimana kita sebagai orang tua menghadapi pemberontakan anak?

Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, perbincangan kali ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan yang lampau jadi supaya para pendengar kita bisa mengikutinya secara utuh mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa yang dahulu kita bicarakan tentang pemberontakan anak.

PG : Kita pertama-tama menyoroti beberapa penyebab pemberontakan anak, Pak Gunawan, yaitu misalnya pertengkaran orang tua akhirnya anak tidak tahan lagi mendengarkan orang tua bertengkar, menyimpan banyak kemarahan akhirnya dia ledakkan dalam pemberontakan. Ada juga anak-anak yang memberontak karena mereka dijadikan target pelampiasan orang tua, mungkin karena orang tua merasa kesal hidup dengan pasangannya atau mengalami masalah di tempat pekerjaannya atau di antara teman-temannya dan anaklah yang dijadikan target karena anak-anak di pihak yang lemah, tidak bisa melawan dan nanti waktu mereka sudah besar mereka melawan akhirnya memberontak. Yang berikut adalah kalau anak dijadikan trofi dalam konflik karena orang tua ingin merebut anak masing-masing ke pihaknya akhirnya anak tidak tahan dijadikan seperti trofi, nanti ke kiri nanti ke kanan, nanti membela papa dan kemudian membela mama, dia buang semuanya, tidak mau tahu urusan orang tuanya. Ada juga anak yang memberontak karena tuntutan berlebih yang dialami oleh si anak terus-menerus, dia tidak sanggup lagi memenuhi tuntutan orang tua akhirnya dia berontak supaya orang tua tidak bisa lagi mengembankan tuntutan yang sama itu kepada anak-anak. Yang terakhir kita juga bahas kadang-kadang anak memberontak akibat konflik berkepanjangan antara orang tua dan anak itu sendiri. Bermacam-macam penyebabnya misalnya karena gaya hidup anak, karena pilihan-pilihan anak yang dianggap tidak tepat oleh orang tua sehingga orang tua kerap memarahi anak sehingga relasi orang tua dan anak menjadi relasi yang negatif, akhirnya anak marah dan berontak, melepaskan semuanya. Kita simpulkan bahwa pemberontakan anak merupakan pertanda anak tidak lagi tahan dengan kondisi kehidupan yang dihadapi itu, daripada ia terus-menerus tertindih, ia menolak segala jenis tuntutan dan caranya adalah dengan memberontak. Kita juga melihat bahwa pemberontakan merupakan pertanda anak ingin mengubah kondisi keluarganya yang tidak sehat. Sekarang ia sudah besar jadi bisa melihat keluarga-keluarga temannya yang lebih baik, orang tuanya seperti ini dia sudah tidak bisa menerima lagi, dia mau coba mengubahnya supaya keluarganya menjadi lebih baik lagi. Dia berontak, dia marah kepada orang tuanya dan yang berikut adalah anak memang berontak karena mau terpisah hidup dari kita. Mungkin kita juga agak susah memberi mereka kebebasan akhirnya terjadilah ketegangan dan anak-anak cenderung merasa terlalu diikat dia mau lepas dan berontak juga. Yang terakhir pemberontakan anak bisa juga merupakan pertanda bahwa dalam diri anak telah terjadi penyimpangan atau masalah dalam jiwanya, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan konflik akhirnya cenderung mengembangkan jiwa yang labil, tidak sehat sehingga dia tidak mengerti bagaimana mengatasi hidup. Yang diketahuinya adalah dengan cara melawan, berontak, melawan, berontak akhirnya cara inilah yang menjadi karakternya dalam menghadapi hidup.

DL : Lalu bagaimana sebagai orang tua kita mengatasi anak dalam pemberontakan terhadap dirinya itu, Pak Paul ?

PG : Ada beberapa yang bisa kita lakukan. Yang pertama, kita mesti rendah hati, mengakui kondisi keluarga dan kekurangan pribadi. Artinya, jangan menyangkal, terlalu sering kita melihat orang tua tidak mau terima, jadi menyangkali fakta bahwa anak-anaknya sudah begitu jauh dalam pemberontakannya, sudah begitu bermasalah, ditutup-tutupi tidak mau dibicarakan karena tidak ada kerendahan hati untuk mengakui bahwa inilah masalah anak dan inilah masalah keluarga kami. Sebab apa ? Malu, sebab besar kemungkinan orang akan berpikir dan mereka pun tahu bahwa "ini ‘kan berkaitan dengan pernikahannya yang tidak lagi harmonis".

GS : Kerendahan hati ini harus ditunjukkan kepada anak yang berontak atau terhadap orang luar atau terhadap seluruh keluarga atau bagaimana, Pak Paul ?

PG : Kepada orang kita harus berani mengakui kalau ada masalah dan kita tidak usah menutup-tutupi karena ini merupakan pertanda bahwa kita mengakui kita memunyai andil dan tidak melimpahkan penyebabnya itu kepada orang di luar rumah. Yang juga sangat penting adalah kepada anak, kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa "Oke, saya ini ada masalah dengan ayahmu" atau "Oke, saya ada masalah dengan ibumu", "Kami tidak menjadi orang tua yang memerhatikan kalian". Jadi berapa sering saya mendengar, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, anak yang sekarang sudah besar yang menceritakan betapa hatinya terhibur waktu orang tua berani berkata, "Maaf karena kami dulu, kami tidak memberikan perhatian yang sepatutnya kepada kamu sehingga kamu harus mengalami ini dan itu". Meskipun hal itu tidak mengubah apa pun karena sudah telanjur, tapi kata-kata "maaf karena kami kamu menjadi begini" dan seterusnya, itu memberikan kesegaran atau kesejukan dalam hati si anak.

GS : Biasanya orang tua bukan mengakui malah menyalahkan pasangannya, "ini semua karena kamu", suami berkata kepada istrinya atau istri menuduh suaminya dan hal ini membingungkan anak juga, Pak Paul.

PG : Sebetulnya kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena anak mengetahui siapa yang salah, siapa yang harus bertanggungjawab dan sebagainya. Justru kalau kita menyalahkan pasangan, meskipun anak mengetahui bahwa yang salah adalah pasangan kita, tetap anak tidak suka. Anak selalu tidak menyukai orang tua saling menyalahkan, meskipun dia mengetahui siapa yang menjadi sumber permasalahan. Jadi jangan salahkan siapa-siapa, akui saja bahwa ada masalah di antara papa dan mama dan kamu menjadi korban, minta maaf. Kerendahan hati untuk mengakui andil kita dalam masalah si anak sekarang.

DL : Tapi kerendahan hati itu hanya kepada anak, Pak Paul ?

PG : Maksud saya bukan sengaja cerita, tapi misalnya sampai orang mengetahuinya dan orang membicarakannya, kita jangan sampai menutupi sebab saya mengetahui ada orang yang sengaja memberikan kesan yang berbeda di luar, bahwa keluarga saya sebenarnya bagus, sempurna. Atau ada apa-apa menyalahkan orang-orang lain, sama sekali tidak mau memikul tanggungjawab itu jangan dilakukan sebab anak pada waktu mendengar orang tuanya bicaranya begitu, tambah merasa marah karena mereka melihat orang tuanya berbohong, munafik, menutup-nutupi. Justru dorongan memberontak bukan melemah malah makin membesar.

GS : Selain kerendahan hati, hal lain yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul ?

PG : Kita mesti memberikan kasih untuk menyatakan penerimaan kita kepada anak, maksudnya begini, sedapatnya walaupun kita marah, kita harus membedakan antara perbuatan dan diri si anak itu. Di satu pihak kita mesti bersikap tegas terhadap sikap dan perbuatannya yang memberontak, di pihak lain kita harus mengkomunikasikan penerimaan kepada dirinya bahwa dia tetap adalah anak yang kita kasihi. Kita tidak mengubah fakta itu, kamu tetap anak, kamu tetap dalam hati kami, kamu tetap adalah orang yang kami doakan. Itu tidak berubah tapi pada perbuatannya yang jelas-jelas salah kita katakan, "Itu salah, itu tidak benar, kamu menipu temanmu, kamu memakai uang kami tanpa memberitahukan kami, itu juga salah". Kita mesti berani menegur tindakannya jangan sampai kita juga membungkamkan diri.

DL : Tegas itu penting tapi anak kalau kita tegasi tidak boleh disertai emosi karena ada orang tua yang mengatakan begini kepada anak, "Sekarang pilih kamu mau di sini tenang di dalam rumah atau keluar dari sini karena papa tidak mau melihat anak pemberontak di rumah ini". Saya kira kata-kata seperti itu tidak pantas dikeluarkan oleh seorang ayah kepada anaknya. Orang tua itu harus tegas tetapi harus ada kasih, sehingga anak bisa mengetahui bahwa ia salah.

PG : Betul ya ibu Dientje, kita tidak boleh gampang-gampang berkata kepada anak, "Sudahlah kamu keluar dari rumah ini, saya tidak bisa lagi terima kamu, sudahlah kamu keluar", ada orang tua yang karena emosi mengatakan seperti itu. Kalau kita sadar sudahlah setop jangan berbuat yang sama lagi. Namun saya juga mau mengakui satu hal adakalanya keputusan yang terbaik adalah meminta anak keluar yaitu dalam kasus di mana dengan jelas kita melihat anak ini sebetulnya akan lebih baik keluar daripada di dalam rumah, contoh : ada anak yang berusia sudah agak lanjut tidak mau bekerja, hanya menuntut orang tua menyediakan kebutuhannya, kalau orang tua tidak bersedia dia akan marah, dia akan mengancam orang tuanya. Ada anak-anak yang seperti itu yang merugikan orang tuanya luar biasa dahsyatnya, nah anak-anak ini memang akan sengaja seperti lintah mau menempel dan mengisap orang tuanya, semua yang dimiliki oleh orang tuanya. Dalam kondisi seperti itu akan jauh lebih sehat jika orang tua bersikap tegas meminta anak keluar dari rumah sehingga anak belajar untuk hidup mandiri, tidak lagi memanfaatkan dan bergantung pada orang tuanya.

GS : Ketika Absalom memberontak kepada Daud, ayahnya dan Daud mengampuni Absalom sehingga ketika Absalom dibunuh Daud pun menangis dan seterusnya. Apakah itu wujud kasih seorang ayah terhadap anaknya yang memberontak ?

PG : Jelas ya meskipun di pihak yang lain ini juga memang menimbulkan kekacauan dalam keluarganya dan tugas kepemimpinannya karena akhirnya Daud tidak lagi berimbang. Seolah-olah benar kata Yoab, kalau semua serdadumu mati tidak apa-apa asalkan Absalom hidup padahal kami memertaruhkan nyawa demi kamu, membela kamu jangan sampai dibunuh oleh Absalom. Jadi memang Daud mengasihi Absalom tapi sebagai papa kita mesti mengakui dia tidak tegas. Contoh misalnya dimulai ketika anaknya memerkosa adiknya sendiri, jadi akhirnya kakaknya marah yaitu Absalom membunuh adik yang memerkosa Tamar, adik perempuannya. Daud memang tidak berbuat apa-apa, Daud hanya diam-diam saja. Anaknya demikian jahat memerkosa adiknya, tidak ada sanksi, Absalom akhirnya bertindak. Jadi mesti ada keseimbangan antara kasih dan ketegasan. Kita mesti menyampaikan batas yang jelas kepada anak, dalam menghadapi pemberontakan kita mesti membedakan pelbagai jenis pemberontakan dan memberi reaksi yang sesuai. Jangan sampai juga tidak ada konsekwensi, namun harus hati-hati jangan menyamaratakan semua pelanggaran. Ada kecenderungan tatkala marah kita menyamaratakan semua perilaku si anak sebagai pemberontakan besar. Kenyataannya ada pemberontakan yang sesungguhnya tidak besar, sedapatnya kita hanya memberi reaksi terhadap pemberontakan yang besar. Saya masih ingat sekali, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, nasihat dari Dr. James Dobson, dia selalu menekankan bahwa kesalahan yang diperbuat oleh anak sesuai usianya bukanlah sesuatu yang harus diberikan konsekwensi atau ganjaran. Yang mesti diberikan konsekwensi atau ganjaran, anak itu sengaja membangkang, melawan kita. Kalau anak memang sengaja memberikan reaksi seperti itu, menantang kita, menurut Dr. James Dobson, kita mesti tegas, tidak boleh kita biarkan anak menantang seperti itu dan kita diam. Begitu kita diamkan berarti posisinya telah beralih, dia yang menjadi kepala, kita yang menjadi anak di rumah. Pasti nanti akan menuai badai kekacauan di rumah.

GS : Biasanya bukan tantangan, Pak Paul, tetapi pemaksaan kehendak anak terhadap orang tuanya dan anak paling pandai untuk memanipulasi keadaan supaya orang tuanya memenuhi permintaan anak ini. Orang tua biasanya tidak bereaksi keras.

PG : Jadi ini sekali lagi kembali kepada ketegasan, memang perlu. Saya berikan contoh, ini sesuatu yang sering terjadi. Anak seperti yang Pak Gunawan gambarkan, manipulatif, memanfaatkan orang tuanya. Orang tuanya diam malah diberi, nah adik dan kakaknya si anak melihat kemudian marah kepada orang tua sebab mereka melihat orang tua tidak adil. Sepertinya memanjakan, membiarkan padahal anak ini merugikan keluarga sedemikian besarnya. Apa yang dilihat oleh anak-anak yang lain, ketidakadilan, ketidaktegasan. Sama seperti tadi kasusnya Absalom, dia melihat ayahnya tidak adil, tidak tegas. Anak yang memerkosa adiknya mengapa didiamkan saja ? Akhirnya Absalom mengambil tindakan sendiri, membunuh adiknya sendiri. Setelah Absalom ketahuan berbuat begitu, Daud marah, Absalom akhirnya melarikan diri ke rumah kakek-neneknya, kemudian dipanggil pulang oleh Yoab, Daud diam saja. Daud tidak konsisten, anak yang jahat memerkosa adiknya didiamkan. Absalom seolah-olah dihukum, inilah yang akhirnya menimbulkan kepahitan sebab Absalom melihat Daud kurang adil. Masalah berkembang besar hampir rumah tangga Daud kocar-kacir.

GS : Tapi pemberontakan ini karena masih kecil, anak tidak berani melakukan pemberontakan terhadap orang tuanya dan baru terjadi setelah anak dewasa, sudah keluar dari rumah tapi dia tetap menolak orang tuanya.

PG : Itu sering terjadi, Pak Gunawan, apalagi kalau anak melihat, sebetulnya anak ini bukan berjiwa pemberontak tapi dia melihat percuma berbicara dengan orang tua. Ada orang tua yang tidak terbuka menerima masukan dari anak, akhirnya anak berkata, "Sudahlah tidak usah bicara, percuma, sudah, diamkan saja". Tapi begitu kesempatan datang, ia bisa lepas dari orang tua, benar-benar ia kepakkan sayapnya dia terbang tinggi, dia lepaskan orang tuanya, tidak mau tahu lagi. Itu sering terjadi.

GS : Kalau sudah seperti itu, orang tua tidak lagi bisa bersikap tegas, Pak Paul, berarti ada cara yang lain didalam kita mencegah supaya anak-anak kita jangan memberontak kepada kita.

PG : Kuncinya adalah ini, Pak Gunawan. Integritas dan stabilitas, saya jelaskan. Sebelum kita menanam sesuatu, kita harus menggemburkan tanahnya. Demikian pula dengan usaha menanam sesuatu yang baik pada anak terutama saat terjadi pemberontakan, kita perlu menggemburkan tanah alias mempersiapkan relasi agar sewaktu terjadi pemberontakan, dampaknya tidak berlarut dan memburuk. Berarti kita harus menjaga relasi yang baik dengannya di masa sebelum pemberontakan terjadi. Kita tidak boleh berasumsi bahwa anak kita pasti menurut, tidak akan memberontak, belum tentu sebab kebanyakan anak-anak pada waktu melewati masa remaja, adalah pemberontakan. Karena itu kita mesti mempersiapkan relasi kita sewaktu pemberontakan terjadi kita lebih bisa menghadapinya dengan baik. Apa yang harus kita lakukan ? Kita mesti mempertahankan kehidupan yang berintegritas dan jiwa yang stabil. Jika kita hidup dalam kemunafikan, tidak ada integritas hampir dapat dipastikan pemberontakan anak akan makin berkobar, juga bila anak melihat bahwa kita bukanlah pribadi yang stabil. Terombang-ambing, berubah-ubah, dia cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih besar. Sebab diperlukan jiwa yang stabil untuk membendung pemberontakan anak. Pada waktu anak melihat ketidakstabilan jiwa kita, dia melihat peluang untuk memberontak. Jadi penting bagi kita memulai keluarga dalam integritas dan stabilitas. Tanpa kedua karakter ini pemberontakan hampir dapat dipastikan akan terjadi.

GS : Integritas dan stabilitas kalau kita hubungkan dengan relasi kita terhadap anak supaya anak bisa merasakan, mengalami bahwa kita adalah pribadi yang berintegritas dan yang stabil, itu bagaimana caranya, Pak Paul ?

PG : Sudah tentu kita bukan saja mengajarkan apa yang baik, kita harus menghidupi apa yang baik itu, Pak Gunawan. Saya cukup sering mendengar anak yang sekarang sudah besar, yang bercerita tentang orang tua yang memang memperlihatkan tidak adanya integritas, sebagai contoh : misalnya ada orang tua yang menyebarkan cerita meskipun secara halus bahwa ia tidak memunyai uang. Padahal anaknya mengetahui punya uang tapi memberikan kesan kurang uangnya sehingga mengundang simpatik orang di luar, akhirnya memberikan uang kepadanya. Anak itu sudah merasa sangat kesal, merasa malu akhirnya merasa benar-benar orang tuanya munafik. Jadi integritas itu tidak ada lagi, belum lagi merasa malu karena akhirnya menjadi objek belas kasihan orang. Anak-anak yang melihat orang tua seperti itu tidak bisa tidak mereka ingin memberontak. Kalau orang tuanya berbicara memberikan peringatan kepadanya, pasti tidak didengar. Masuk telinga kiri keluar dari telinga kanan, untuk apa mendengarkan orang tua seperti itu ! Stabilitas juga penting, karena kalau anak melihat orang tuanya tidak stabil, berubah-ubah, emosi naik turun, maka anak tidak bisa hormat, tidak bisa lagi respek kepada orang tua karena orang tua seperti anak-anak. Mungkin mengemis perhatian, akhirnya anak merasa sebal karena melihat orang tua seperti itu, tidak ada respek, biasanya tinggal setahap lagi berontak, bicara bisa kasar terhadap orang tuanya. Kalau orang tua menyuruh apa, bukan dituruti tapi malah dibalas dengan kemarahan.

GS : Jadi stabilitas ini sangat erat kaitannya dengan konsistensi orang tua terhadap anak, Pak Paul ? Supaya anak tidak merasa bingung dan merasa terkejut karena orang tuanya berubah-ubah terus.

PG : Betul sekali, kalau orang tua bisa konsisten mengajarkan sesuatu yang benar dan menunjukkan lewat kehidupannya apa yang benar. Itu menjadi seperti rel dan anak-anak seperti gerbong kereta yang akan berjalan di rel itu.

GS : Hal lain yang perlu dilakukan apa, Pak Paul ?

PG : Mesti jangan lupa berdoa, Pak Gunawan, ini penting untuk terus kita lakukan. Tuhan mendengar doa, jadi jangan berhenti berdoa meskipun perubahan yang kita nantikan tidak kunjung datang. Saya ingin mengingatkan lagi, kita mesti menyadari kelemahan diri kita dan bersedia berubah. Kalau kita mau menuntut anak kita berubah, kita juga mesti berubah. Ingat bahwa doa tanpa perubahan sikap atau perubahan perilaku tidak akan membuahkan hasil. Tuhan bekerja lewat ketaatan kita, bukan ketidaktaatan kita. Kita mesti melihat bagian hidup kita yang perlu diselaraskan lagi dengan kehendak Tuhan. Dalam doa kita mesti minta hikmat Tuhan, minta kesabaran tanpa batas. Kedua hal ini sangat perlu, hikmat dan kesabaran, supaya kita mengerti bagaimana menghadapi anak-anak kita, tidak sampai akhirnya kita meledak dan memutuskan hubungan. Kita juga mesti sabar atas perilakunya yang menjengkelkan dan saya percaya pada akhirnya Tuhan akan bekerja melalui doa dan juga kesediaan kita untuk berubah.

GS : Justru biasanya kadang-kadang lewat doa itu anak berontak karena anak merasa dijadikan objek dalam doanya, selalu dalam doa bersama dalam keluarga lalu orang tua, ayah atau ibunya, selalu memunculkan kekurangan-kekurangan atau hal-hal yang menjengkelkan. Anak merasa kalau begitu untuk apa saya ikut persekutuan doa atau ibadah keluarga ?

PG : Karena itu penting kita tidak mendoakan dia di depannya dan menyebut-nyebut namanya sebagai orang yang bermasalah. Kita juga jangan menyebarkan berita di gereja, "Tolong doakan anak saya yang bermasalah ini", mesti bijaksana, kalau kita mau bercerita kepada seseorang yang kita dekat dan bisa menjadi pembimbing kita, dapat mendoakan kita, ya tidak apa-apa tapi jangan sembarangan berbicara karena hal itu membuat anak makin tidak mau lagi dekat dengan kita.

DL : Pak Paul, firman Tuhan di Yakobus 5:16 mengatakan, "Doa orang yang benar bila dengan yakin didoakan besar kuasanya". Apakah sebagai orang tua kita perlu mengajak anak yang memberontak ini berdoa bersama padahal ia sudah pesimis dengan doa.

PG : Kalau memang kita mengajak dan dia tidak mau, kita bisa berkata begini, "Ya tidak apa-apa, mama mengerti kamu tidak mau berdoa, tidak apa-apa, tapi bolehkah ijinkan mama untuk berdoa untuk kamu di sini ?" Kalau dia diam saja dan mengatakan, "Terserah". Kita pegang tangannya dan kita berdoa tapi tidak menyebut-nyebut, "Tuhan, sadarkan anak saya supaya ia bertobat". Jangan, tapi kita doakan supaya Tuhan menuntun hidupnya, supaya Tuhan menolong dirinya dan Tuhan juga menolong kita mengerti anak kita, Tuhan mengubahkan bagian hidup kita yang perlu diubahkan. Kita doakan untuk diri kita yang memang perlu diubah dan kita doakan supaya Tuhan menuntun hidupnya. Itu saja kalau dia bersedia kita berdoa baginya.

GS : Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?

PG : Di Yesaya 57:15 firman Tuhan berkata, "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga besama-sama orang yang remuk dan rendah hati untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk". Tuhan tahu bahwa kita tidak sempurna namun yang terpenting bagi Tuhan adalah pertobatan atau perubahan kita dan untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan kita. Kita yakinlah bahwa Tuhan bersama dengan kita yang remuk hati dan rendah hati, Dia pasti mendengarkan doa kita.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pemberontakan Anak" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Salah satu misteri dalam membesarkan anak adalah, tidak selalu apa yang ingin kita tanamkan, dapat diterima anak dengan BAIK dan TEPAT. Mungkin kita tidak menyampaikannya secara tepat sehingga anak tidak dapat menerimanya dengan baik. Namun acap kali anak memang sulit untuk menerimanya oleh karena ia sudah memiliki keinginan yang berbeda. Kalau tak terjembatani, tidak bisa tidak, timbullah pemberontakan. Namun ada banyak alasan lain lagi mengapa anak memberontak.

Beberapa di antaranya adalah:

·         PERTENGKARAN ORANG TUA
adalah salah satu penyebab paling umum munculnya pemberontakan. Oleh karena pertengkaran yang tak berkesudahan, anak terpaksa hidup dalam ketegangan dan kemarahan. Inilah benih yang melahirkan pemberontakan.

·         ANAK DIJADIKAN TARGET PELAMPIASAN
adalah penyebab lain terjadinya pemberontakan. Mungkin orang tua frustrasi dengan pernikahannya atau mungkin ia terjepit dalam pekerjaannya. Nah, dalam kondisi tertekan, betapa mudahnya orang tua melampiaskan semua kekesalannya pada anak. Sudah tentu bukan saja anak merasa tersiksa, ia pun merasa marah karena harus menjadi korban ketidakadilan. Pemberontakan pun menjadi jalan keluarnya.

·         ANAK DIJADIKAN TROFI DALAM KONFLIK
adalah penyebab timbulnya pemberontakan dalam keluarga yang tidak harmonis. Akibat keretakan relasi baik ayah maupun ibu berusaha "memenangkan" hati anak agar berpihak padanya. Sudah tentu kondisi ini membuat anak serba salah dan tidak jarang, pemberontakan menjadi jalan untuk membebaskan diri dari himpitan ini.

·         TUNTUTAN BERLEBIHAN
adalah penyebab lain timbulnya pemberontakan. Mungkin orang tua bermaksud baik yaitu mendorong anak untuk mengoptimalkan potensinya namun pada akhirnya anak merasa tersiksa sebab hidup menjadi mirip dengan kerja rodi. Alhasil anak memberontak agar terlepas dari tuntutan yang terlalu menindihnya.

·         KONFLIK ORANG TUA - ANAK
adalah penyebab yang kerap menjadi penyebab munculnya pemberontakan. Sudah tentu ada banyak faktor yang dapat mencuatkan konflik di antara orangtua-anak namun bila konflik tidak terselesaikan, besar kemungkinan pada akhirnya anak memberontak.

 

Sesungguhnya apakah pemberontakan itu? Pemberontakan adalah:

       Pertanda anak TIDAK TAHAN lagi dengan tekanan yang dihadapinya. Bertahun-tahun hidup dalam tekanan membuat daya tahan anak untuk menghadapi stres berkurang. Ia menjadi mudah marah dan cepat melampiaskan kemarahannya pada orang di sekitarnya. Juga, akibat tekanan yang dialaminya ia tidak sempat membangun sistem pertahanan yang kuat sehingga ia menjadi mudah runtuh. Di dalam keruntuhan ia mudah meledak dan tidak cakap mengelola kecamuk di hati. Itu sebabnya reaksi termudah adalah MENOLAK TUNTUTAN apa pun dan inilah yang menjadi tema pemberontakannya.

       Pertanda anak ingin MENGUBAH kondisi keluarganya yang tidak sehat. Tanpa dijelaskan sekali pun, anak tahu bahwa keluarganya tengah bermasalah. Mungkin ia melihat hambarnya komunikasi di antara orang tua. Mungkin ia melihat pertengkaran. Mungkin ia melihat kedekatan orang tua dengan teman di luar pernikahan. Semua ini adalah kondisi yang tidak sehat dan anak merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu. Akhirnya ia mencoba memberitahukan orang tua, mengingatkan orang tua, menasihati orang tua tetapi semua tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya ia tidak tahan lagi dan letih menasihati. Ia membuang semua itu dan melawan orang tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini pemberontakan merupakan upaya anak MENYADARKAN ORANG TUA.

       Pertanda anak ingin membangun kehidupan yang TERPISAH dari kita. Kadang anak memberontak oleh karena ia ingin mulai mengembangkan kemandiriannya. Ia menganggap diri sudah dewasa dan sudah selayaknya ia memeroleh kebebasan untuk memilih. Pada umumnya ada tiga isu utama yang kerap menjadi pemicu pemberontakan anak: iman kepercayaan, pasangan hidup dan gaya hidup.

       Namun adakalanya, pemberontakan merupakan ekspresi PENYIMPANGAN anak dalam pertumbuhannya. Pada umumnya anak yang bertumbuh besar dalam keluarga yang tidak harmonis mengembangkan perilaku memberontak sebagai akibat ketidakstabilan jiwanya. Pemberontakan menjadi gaya hidup atau caranya menghadapi hidup. Ia tidak tahu dan mungkin, tidak sanggup mengatasi kekompleksan hidup beserta tuntutannya. Akhirnya satu-satunya cara yang digunakan adalah memberontak. Singkat kata, pemberon-takan merupakan wujud nyata dari ketimpangan dan ketidakberdayaannya menghadapi hidup dengan cara yang sehat.

 

Pemberontakan anak dihadapi lewat:

       KERENDAHAN HATI untuk mengakui kondisi keluarga dan kekurangan pribadi. Kita mesti menyikapi pemberontakan anak dengan penuh kerendahan hati. Kita harus menyadari bahwa seringkali pemberon-takan anak merupakan akibat langsung dari masalah yang tersimpan dalam pernikahan kita atau kegagalan kita membendung masalahnya pada tahap yang dini.

       KASIH untuk menyatakan penerimaan kepada anak. Sedapatnya kendati marah, kita harus membedakan antara perbuatan anak dan diri anak. Di satu pihak kita mesti bersikap tegas terhadap sikap dan perbuatan-nya yang memberontak. Di pihak lain kita harus mengkomunikasikan penerimaan kepada dirinya, yaitu bahwa ia tetap adalah anak yang kita kasihi.

       KETEGASAN untuk menyampaikan batas yang jelas kepada anak. Dalam menghadapi pemberontakan anak, kita harus membedakan pelbagai jenis pemberontakan dan memberi reaksi yang sesuai. Ada kecenderungan tatkala marah, kita menyamaratakan semua perilakunya sebagai pemberontakan besar. Kenyataannya adalah, akan ada pemberontakan yang sesungguhnya tidak bernilai besar. Nah, sedapatnya kita hanya memberi reaksi terhadap pemberontakan besarnya. Sewaktu ia melihat bahwa kita tidak selalu memberi reaksi yang sama terhadap semua tindakannya, ia pun tidak dapat menunjukkan pemberontakan terhadap kita setiap waktu. Jika ini terjadi, akan tercipta momen di mana kita dan dia dapat berinteraksi secara lebih positif sebab tidak semua interaksi menjadi interaksi negatif—dia memberontak dan kita marah. Juga, tatkala kita tidak bereaksi terhadap semua pemberontakannya, ia pun akan dapat melihat sikap kita yang dewasa serta niat baik kita untuk berhubungan kembali dengannya. Hal ini berpotensi melunakkan hatinya dan menurunkan suhu kemarahan dan pemberontakannya.

       Kunci meredam pemberontakan: INTEGRITAS DAN STABILITAS. Sebelum kita menanam sesuatu kita mesti terlebih dahulu menggemburkan tanahnya. Demikian pula dengan usaha menanam sesuatu yang baik pada anak terutama saat terjadi pemberontakan. Kita perlu menggemburkan tanah alias memersiap-kan relasi agar sewaktu terjadi pemberontakan, dampaknya tidak berlarut dan memburuk. Ini berarti kita harus menjaga relasi yang baik dengannya di masa sebelum pemberontakan terjadi.

Selain dari itu, kita pun mesti mempertahankan kehidupan yang berintegritas dan jiwa yang stabil. Jika kita hidup dalam kemunafikan, hampir dapat dipastikan pemberontakan anak akan makin berkobar. Juga, bila anak melihat bahwa kita bukanlah pribadi yang stabil, ia pun cenderung menunjukkan pemberontakan yang lebih besar, sebab diperlukan jiwa yang stabil untuk membendung pemberontakan anak.

Ketika anak melihat ketidakstabilan jiwa kita, ia melihat peluang untuk memberontak. Jadi, penting sekali bagi kita untuk memulai keluarga dalam integritas dan stabilitas. Tanpa kedua karakter ini, pemberontakan hampir menjadi keniscayaan.

       Dan jangan lupa BERDOA untuk anak tanpa henti! Tuhan mendengar doa yang kita panjatkan, jadi, jangan berhenti berdoa meskipun perubahan yang kita nantikan tidak kunjung datang. Terpenting adalah kita pun menyadari kelemahan diri dan bersedia untuk berubah pula.

Doa tanpa perubahan sikap pada diri kita tidak akan membuahkan hasil. Ingat: Tuhan bekerja lewat ketaatan kita, bukan ketidaktaatan kita. Di dalam doa, mintalah hikmat dan kesabaran tanpa batas! Kita memerlukan kedua hal ini. Kita tidak selalu tahu bagaimana memberi respons yang tepat kepada anak. Itu sebabnya kita mesti sering berdoa.

Kita pun tidak selalu memiliki kesabaran atas perilakunya. Jadi, kita harus meminta Tuhan memberi kita kesabaran untuk menghadapinya. Tuhan bekerja melalui doa dan kesediaan kita untuk berubah.

 

Firman Tuhan di Yesaya 57:15 berkata, "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk."

 

Tuhan tahu kita tidak sempurna, namun yang terpenting bagi-Nya adalah pertobatan atau perubahan. Untuk itu diperlukan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan kita. Tuhan bersama dengan kita yang remuk hati dan rendah hati. Ia mendengarkan doa kita.

 

 


Questions: