BETA
Dampak Rohani pada Keluarga
Sumber: telaga
Id Topik: 1042

Abstrak:

Untuk membangun dan memelihara relasi yang sehat diperlukan kehidupan pribadi yang sehat pula. Kehidupan pribadi yang sehat berawal dari dan harus didukung oleh kehidupan rohani yang sehat pula. Tiga hal yang menjadikan kehidupan rohani yang sehat,

  1. kehidupan rohani bertumpu pada pertanggungjawaban kita kepada Yesus Kristus
  2. kehidupan rohani bertumpu pada kehidupan yang kudus
  3. kehidupan rohani bertumpu pada kebenaran. Kerohanian memainkan peran yang vital sebab kerohanian merupakan kemudi yang mengarahkan sikap dan perilaku kita.


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dampak Rohani Pada Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, saya ingin mengajukan satu pertanyaan, apakah dampak rohani pada kehidupan keluarga khususnya keluarga Kristen masa kini ?

PG : Dampaknya sangat besar, Ibu Dientje, sebab kita tahu bahwa dalam keluarga Kristen ada masalah-masalah yang terjadi dan itu memengaruhi anak-anak dan itu sebabnya sebagian anak-anak dalam keluarga Kristen akhirnya memilih untuk meninggalkan iman orang tuanya. Jadi kita mau memerhatikan dampak ini dan mungkin saya bisa memulai dengan sebuah cerita. Di tahun 2008 di Amerika ada peristiwa yang sangat menggemparkan yaitu seorang anak berusia 14 tahun di sekolah dalam kelas menembak temannya yang berusia 15 tahun, si anak yang menembak bernama Brandon dan temannya yang ditembak bernama Larry. Kenapa sampai seperti itu ? Sebab si Larry adalah seorang anak yang berperilaku feminin dan dia sering digoda karena perilakunya yang feminin tapi ketika digoda dia bukanlah diam tapi dia juga membalas dan mengeluarkan komentar genit kepada teman prianya, teman-teman prianya menjadi tidak suka dengan si Larry. Satu kali si Larry suka dengan si Brandon yang adalah anak yang atletis dan pemain basket di sekolah dan katanya dia menyebarkan cerita bohong bahwa dia dan Brandon saling menyukai, berkencan bersama. Kemudian si Brandon tambah marah tapi saat itu belum berbuat apa-apa, satu kali mereka berpapasan di sekolah dan si Larry mengeluarkan sapaan mesra "Hai Baby" itu adalah sapaan mesra kepada seorang kekasih, seolah-olah dia dan si Brandon punya relasi cinta. Kemudian si Brandon tambah marah dan dia kemudian berkata kepada teman-temannya kalau dia akan membunuh si Larry dan benar dia datang ke sekolah suatu hari membawa pistol dan waktu pelajaran Bahasa Inggis, dari belakang dia menembak kepala si Larry dua kali sampai mati.

DL : Apa pengaruh keluarga Brandon terhadap dirinya sehingga dia berbuat sadis seperti itu ?

PG : Cerita ini sangat menyedihkan, Bu Dientje, karena Brandon adalah anak yang dibesarkan oleh orang tua yang bercerai, sebelum orang tuanya bercerai mereka sering berkelahi. Kalau sedang berkelahi Papanya Brandon mencekik Mamanya, pernah bahkan satu kali Papanya menembak Mamanya tapi tidak kena. Jadi karena begitu kacaunya keluarga itu sehingga itulah yang melatar belakangi hidup si Brandon. Sedangkan si Larry dibesarkan oleh seorang ibu sampai usia 2 tahun karena papanya juga tidak diketahui di mana, kemudian setelah dua tahun dia diserahkan untuk diadopsi oleh keluarga lain. Jadi sekali lagi anak ini kedua-duanya menurut saya adalah korban, korban dari orang tua yang tidak bertanggung jawab, tidak memerhatikan anak-anak sehingga memberikan contoh kehidupan yang begitu buruk dan juga tidak memenuhi kebutuhan anak yang sangat penting yaitu kasih dan pengarahan. Sehingga akhirnya menjadi seperti itu, si Brandon tidak mengerti bagaimana mengatasi konflik dan kemarahan dan cara yang dia tahu adalah kekerasan, karena Papa dan Mamanya terus berkelahi, Papanya tembak dan cekik Mamanya. Jadi itulah yang dilihatnya sehingga dia hanya tahu cara kekerasan menyelesaikan masalah. Maka waktu si Larry membuat dia malu, dia marah sekali dan dia tembak mati si Larry. Ini baru saja selesai pengadilannya di Amerika. Setelah di sidang berkali-kali akhirnya pengadilan memutuskan "mis-trial" artinya tidak bisa diadili, kalau jaksa mau mengulang dan menuntut silakan, tapi pengadilan itu dianggap batal sebab juri yang biasanya menentukan bersalah atau tidak bersalahnya seseorang, tidak bisa sampai pada kesimpulan dan tidak bisa memutuskan karena sulit memutuskan kasus seperti ini, karena juri tahu masalah ini disebabkan oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab sehingga anaknya menjadi seperti ini. Sebab kalau si Brandon jadi dihukum maka hukumannya adalah mati, karena dia membunuh orang dengan terencana, itu pembunuhan derajat pertama jadi sangat serius sekali, meskipun waktu dia menembak masih dalam usia anak-anak, tapi hukum di Amerika kalau seorang kanak-kanak melakukan kejahatan orang dewasa yang sadis, maka dia akan dihukum dan diadili berdasarkan orang dewasa, jadi seharusnya dia dihukum mati. Makanya juri tidak bisa menjatuhkan hukuman itu karena tidak tega dan tahu kalau anak ini adalah korban orang tua, keduanya merupakan korban dari orang tua mereka. Akhirnya juri tidak bisa sampai pada kesimpulan dan dibatalkan.

GS : Kekerasan seperti itu, Pak Paul, seringkali terjadi bukan hanya di Amerika tapi juga di Indonesia dan di negara-negara yang lain, dan faktornya bukan hanya keluarga tapi lingkungan masyarakat dan sekitarnya, kesempatan-kesempatan yang ada sehingga bisa tercetus seperti itu. Kalau sekarang kita melihat ke diri kita sendiri di sekitar kita, sebenarnya hal-hal yang seperti itu bisa dicegah, apakah hal-hal yang harus kita lakukan sebagai orang tua untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mengerikan itu ?

PG : Saya akan dasarkan masukan yang saya berikan atas firman Tuhan yaitu dari 2 Korintus 1:12 firman Tuhan berkata, "Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah". Ini adalah ucapan dari Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, memang dalam konteks hubungannya dengan jemaat, tapi saya kira kita bisa terapkan prinsip ini dalam keluarga.

DL : Jadi kehidupan rohani yang seperti apa yang seharusnya ada dalam keluarga Kristen, Pak Paul ?

PG : Ada beberapa yang saya mau bagikan; yang pertama, kehidupan rohani seharusnya bertumpu pada pertanggung jawaban kita kepada Tuhan kita Yesus Kristus. Kita coba perhatikan, Paulus merujuk kepada suara hati atau hati nuraninya untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakannya. Menarik sekali Paulus tidak berkata, "Biarlah orang-orang memberi kesaksian tentang saya bahwa saya orangnya tulus, saya orangnya punya kemurnian dari Allah" tidak ! Tapi dia berkata "suara hati kami" yaitu hati nuraninya, kenapa dia berkata suara hati atau nuraninya ? Karena suara hati tidak mungkin berbohong, jadi yang berbohong adalah kita manusia, tapi suara hati tidak pernah berbohong dan suara hati tahu mana yang benar, salah, baik dan buruk dan kitalah yang bisa menutupi dengan berbohong dan sebagainya, tapi hati nurani selalu mengatakan yang benar. Paulus menggunakan hati nuraninya sebagai saksi bahwa dia telah hidup dengan tulus. Kita tahu Tuhan telah menitipkan hati nurani kepada kita, maka Tuhan nanti menggunakan hati nurani untuk menuntun hidup kita supaya kita bisa hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Maka kita perlu menaati suara Tuhan dan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan. Jadi setiap orang tua, ayah dan ibu harus ingat bahwa mereka bertanggung jawab langsung kepada Tuhan. Suami tidak selalu mengetahui perbuatan kita, istri tidak selalu mengetahui kemanakah kita pergi dan anak juga tidak selalu tahu apa yang kita lakukan, namun Tuhan tahu. Kehidupan rohani jadinya berawal dari relasi pribadi dengan Tuhan kita Yesus Kristus dan berakhir dengan pertanggungjawaban kita kepada-Nya pula.

GS : Pak Paul, berkaitan dengan suara hati nurani, ada yang mengatakan setelah manusia jatuh di dalam dosa maka hati nurani dipengaruhi oleh dosa, sehingga tidak bisa secara jelas membedakan mana yang baik dan yang jahat kecuali kita sudah menerima Roh Kudus di dalam diri kita. Ini bagaimana, Pak Paul ?

PG : Betul sekali. Jadi keseluruhan diri kita secara total tercemar oleh dosa, jadi cara berpikir kita, kadang-kadang juga reaksi emosional kita, kita bisa marah, iri hati, termasuk juga pertimbangan moral dan sebagainya itu juga tercemar oleh dosa. Itu sebabnya kadang-kadang yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah. Tapi seringkali berkaitan dengan hati nurani meskipun telah tercemar oleh dosa, masih ada yang tersisa, jadi tidak hilang seratus persen. Sehingga misalnya kita baca di Roma pasal1, Tuhan menitipkan kepada kita kesanggupan untuk mengetahui benar dan salah, makanya sewaktu orang-orang di Roma hidup semaunya, pesta-pora, hidup bebas, makan minum, seks dan sebagainya. Tuhan menegur mereka lewat surat Paulus, sebab sebetulnya mereka tahu mana yang salah dan mana yang benar. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa meskipun hati nurani kita tidak lagi sempurna dalam melakukan fungsinya menuntun kita ke jalan yang benar, tapi masih tersisa dan masih ada yang bisa mengatakan ini salah dan itu betul. Sebab itulah dimanapun manusia berada akhirnya manusia itu membentuk atau melembagakan hukum mana yang benar dan mana yang salah. Memang tidak sempurna tapi sekurang-kurangnya manusia akan melembagakan hukum, sebetulnya hukum adalah panduan mana salah dan mana yang benar. Jadi itulah kondisi manusia apalagi kalau misalkan orang itu memang sudah percaya pada Tuhan dan dibaharui oleh kuasa Roh kudus sehingga dia lebih mengerti mana salah dan mana yang benar, sudah tentu hati nuraninya makin berfungsi dan makin optimal meskipun sebetulnya tidak sempurna, tapi semakin optimal. Jadi benar-benar kita sebetulnya cukup bisa bergantung pada hati nurani yang sudah dikuasai oleh Roh Kudus Tuhan. Sehingga Paulus berkata, "Inilah dasarnya, hidup saya dituntun bukan oleh orang, tapi hati nurani saya sendiri." Dan orang tua juga harus begitu, kadang-kadang kita harus mengakui bahwa karena kita anggap kitalah kepala keluarga, dan kitalah mama di rumah, dan tidak ada yang tahu di luar rumah dan kadang-kadang kita berbuat semaunya, tapi Tuhan tahu. Jadi setiap orang tua harus menyadari bahwa ini tanggung jawab saya dan bukan hanya kepada pasangan tapi kepada Tuhan, jadi jangan main-main.

GS : Katakan orang tua Brandon sudah mendidik si Brandon, tapi dia juga selain punya hati nurani dia juga bisa menolak apa yang diajarkan oleh orang tuanya kepadanya, sehingga dia tetap melakukan perbuatan yang orang awam pun tahu bahwa itu suatu kejahatan.

PG : Betul. Dia pun pasti tahu itu salah. Kita tidak membenarkan tindakannya karena dia pasti tahu kalau dia salah makanya akhirnya polisi menangkap dia dan akhirnya kejaksaan menyeret dia ke pengadilan karena menuntut tanggung jawab dia, dan dia tahu hal itu karena dia sudah berumur 14 tahun. Namun yang menyulitkan adalah kita tidak bisa menyangkali fakta bahwa seorang anak apalagi yang masih berumur belasan tahun yang belum dewasa, boleh dikata mungkin 90 persen pertimbangan dalam hidup itu berasal dari titipan rumah tangga atau keluarganya. Kalau kita sudah lebih dewasa, sudah lebih tua, dan kita sudah keluar dari rumah dan bertemu dengan orang, bertemu dengan banyak situasi, akhirnya kita akan lebih bercampur dengan hal-hal lain. Tapi bagi anak umur 14 tahun bisa hampir banyak dikata 90 persen dia bisa seperti itu karena produk dari rumahnya, sehingga meskipun dia punya pilihan tapi pilihannya sangat terbatas dan dia benar-benar boleh dikata tidak mengerti bagaimana mengutarakan kemarahan sebab itulah rumah tangganya, rumah tangga yang penuh dengan kekerasan. Akhirnya waktu dia marah, yang langsung keluar secara alamiah adalah metode atau cara-cara mengungkapkan kemarahan yang dipelajari dari rumah itu.

DL : Tapi, Pak Paul, kalau saya melihat kesimpulannya hati nurani orang harus dikuasai betul-betul oleh Tuhan. Kalau Brandon tadi keluarganya bukan dalam Tuhan, tapi misalnya dia berada dalam keluarga Kristen yang selalu ibadah, tiap hari ada devotion. Apakah bisa terjadi anak itu tetap mengikuti hati nuraninya ? Sebab saya melihat ada keluarga kristen yang dari kecil selalu mengadakan devotion tapi setelah besar anaknya tidak mengikuti apa yang telah diajarkan. Jadi hati nuraninya dikuasai oleh emosinya. Itu bagaimana, Pak Paul ?

PF : Saya berikan contoh konkret. Mungkin Bapak Gunawan dan Ibu Dientje pernah menonton film yang judulnya, "A Stranger Beside Me" kira-kira itu judulnya dan saya rasa judul itu pernah dijadikan judul film bertahun-tahun yang lalu. Itu adalah cerita yang sebetulnya sungguh-sungguh terjadi. Jadi orang ini membunuh terbanyak di Amerika sampai-sampai tidak bisa dijumlahkan karena terlalu banyak dan mungkin bisa ratusan orang yang telah dia bunuh dan yang dia bunuh adalah perempuan, setelah dia perkosa. Jadi dia dengan van (mobilnya) dia akan keliling dan mencari mangsa dengan cara menawarkan bantuan kepada orang, kemudian dia pukul dan dia masukkan ke dalam mobilnya, dia perkosa dan dia bunuh. Berkali-kali sampai ratusan orang dan dia sendiri sudah tidak bisa ingat lagi satu persatu, dan yang menyedihkan adalah latar belakangnya yaitu dia sebetulnya dilahirkan oleh seorang ibu tanpa ayah dan akhirnya si ibu meninggalkan si anak kepada kakek-neneknya, dan kakek- neneknya mendisiplin anak itu luar biasa, memukul habis-habisan. Jadi waktu kecil anak ini sudah ditinggal mamanya dan dibesarkan oleh kakek-neneknya, selalu dia dihajar habis-habisan oleh kakek-neneknya. Masalahnya kakek-neneknya adalah orang yang paling rajin ke gereja, jadi si anak akhirnya juga dipaksa untuk ke gereja sejak kecil tapi di rumah dihajar seperti itu oleh kakek-neneknya tapi dia harus ke gereja, dan di gereja dia melihat kakek-neneknya seperti malaikat yang suci. Jadi jiwa anak ini rusak dan bahkan susah dipercaya anak ini waktu remaja menjadi Ketua Remaja di gereja itu. Jadi dia melakukan yang dituntut secara lahiriah dari luar menjadi anak yang baik, dan setelah lulus SMA nilainya bagus karena pintar dan dia masuk ke Universitas dan di Universitaslah dia baru melakukan rangkaian pembunuhan seperti itu. Jadi menjawab pertanyaan Ibu, kenapa bisa seperti itu ? Bukankah ada didikan rohani, bukankah anak ini dibawa ke gereja, tapi yang terisi di dalamnya adalah kebencian-kebencian, kemarahan-kemarahan karena diperlakukan begitu buruk oleh kakek-neneknya sehingga akhirnya meluap menjadi masalah kejiwaan yang sangat parah.

GS : Hal lain yang menjadi landasan dari kehidupan rohani itu apa, Pak Paul ?

PG : Kehidupan rohani bertumpu pada kehidupan yang kudus. Paulus mengatakan bahwa ia telah hidup tulus di II Korintus ini. Sebetulnya kata tulus bisa diterjemahkan kudus atau bersih, kekudusan benar-benar merupakan tulang punggung kehidupan Kristiani, Tuhan memerintahkan kita untuk hidup kudus yang berarti berbeda dari dunia dan serupa dengan Kristus. Dengan kata lain, kehidupan yang kudus adalah kehidupan yang terpisah dari dosa dan menyatu dengan Tuhan. Dari manakah asalnya kekudusan ? Kekudusan berasal dari rasa takut akan Allah dan diwujudkan dalam rasa takut berdosa. Tidak mungkin kita takut pada Tuhan bila kita tidak takut berbuat dosa, apapun yang akan kita lakukan maka kita harus meneropongnya dari lensa Tuhan, jika Tuhan tidak berkenan maka hendaklah kita pun juga tidak melakukannya. Singkat kata, jadinya kekudusan keluar dari tekad untuk hidup lurus, tidak menyimpang, kita harus mendisiplin hati dan mata melihat ke depan dan bukan ke kiri atau ke kanan, sebab langkah pertama menuju dosa biasanya melihat-lihat dosa, akhirnya dari melihat dosa kemudian kita membelokkan arah berjalan menuju dosa dan akhirnya menjadi beli dosa. Kita tidak boleh melihat-lihat dosa, kalau kita mulai melihat-lihat dosa akhirnya jatuh ke dalam dosa. Banyak korban yang berjatuhan akibat perbuatan kita sebagai orang tua yang bergelimang dosa, ada anak yang terlantar gara-gara orang tua hidup dalam dosa, ada anak yang menderita gangguan kepribadian dan jiwa oleh karena orang tua hidup dalam dosa, ada anak kehilangan masa kecil dan masa depan karena orang tua hidup dalam dosa. Itu sebabnya kita harus hidup takut akan Tuhan dan takut berdosa. Contoh tadi yang telah saya berikan, semua berkaitan dengan dosa. Contoh yang pertama seorang anak yang membunuh temannya itu akibat dosa karena kesalahan orang tua yang menelantarkan anak seperti itu. Contoh kedua yang saya berikan si pembunuh berantai itu jelas-jelas keluar dari dosa, baik hubungan orang tuanya, anak itu dibesarkan oleh kakek-nenek, ibunya pergi, papanya tidak tahu, kakek-neneknya begitu sadis tapi juga mencerminkan kerohanian sehingga jiwa anak itu rusak sampai serusak itu. Jadi sekali lagi kita melihat itu akibat orang tidak hidup dalam kekudusan sehingga kita sebagai orang tua jangan main-main dengan dosa, karena kalau kita main-main dengan dosa maka nanti akibat dosa bukan saja ditanggung oleh kita, tapi oleh keturunan kita.

GS : Tapi sebagai orang tua yang penuh dengan kekurangan, tentu saja tetap melakukan dosa baik si ayah atau si ibu. Dalam hal ini bagaimana kita menjelaskan kepada anak bahwa kita orang yang penuh dengan kekurangan, cara mendidik kita mungkin keliru, tingkah laku kita tiap hari mungkin juga keliru. Apakah itu membawa dampak negatif dalam diri anak, Pak Paul ?

PG : Anak akan mengerti kalau orangtuanya tidak sempurna. Jadi yang anak-anak perlu lihat atau saksikan langsung adalah kesediaan orang tua mengakui kesalahan. Misalkan dengan meminta maaf, di rumah kami, kami membiasakan diri kalau kami salah dan meminta maaf. Kedua, saya secara pribadi kadang-kadang bercerita tentang masa lalu saya, misalkan waktu saya dulu remaja terlibat pornografi dan saya cerita pada anak-anak saya. Ketika anak saya mengalami pergumulan yang sama, dia bercerita kepada saya sehingga bisa saling berbagi. Jadi yang anak tuntut dari orang tua sebetulnya bukanlah kesempurnaan, tapi keterbukaan mengakui diri apa adanya namun juga kesungguhan untuk mau memerbaiki hidup. Jadi tidak bisa kita berkata kepada anak-anak kita, "Ya sudah memang saya seperti ini" misalnya kita terus minum alkohol dan mabuk-mabukan, "Harus diterima kalau Papa seperti ini" itu salah. Tapi kita harus berusaha untuk hidup lebih baik lagi.

GS : Mungkin ada landasan lain dalam kehidupan rohani, Pak Paul ?

PG : Yang ketiga, kehidupan rohani bertumpu pada kebenaran. Paulus mengatakan bahwa dia telah hidup dalam kemurnian dari Allah, kata kemurnian bisa diterjemahkan dengan ketulusan. Kita tahu arti kata tulus yaitu sama luar dan dalam, dengan kata lain, tulus berarti benar dan tidak munafik, tidak ada kepalsuan. Saya berikan sebuah contoh, beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan dari Lembaga Riset Barna di Amerika mengadakan penelitian di antara kawula muda untuk mengetahui alasan kenapa begitu banyak pemuda yang meninggalkan iman Kristiani, hasil temuannya dibukukan dengan judul "Unchristian". Dia menemukan ternyata salah satu alasan kenapa begitu banyak kaum muda meninggalkan iman Kristiani di Amerika karena mereka menyaksikan kemunafikan baik di dalam rumah tangga maupun dalam gereja. Jadi itulah yang membuat mereka akhirnya tidak mau lagi memeluk iman orang tuanya karena merasa terlalu banyak yang munafik. Jadi kita belajar di sini bahwa kemunafikan adalah salah satu kekuatan terbesar yang dapat memadamkan keinginan anak menjadi seorang Kristen. Dalam berkeluarga kita mungkin harus melewati krisis. Salah satu krisis adalah krisis yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak, itu normal. Pada saat krisis terjadi besar kemungkinan anak akan tergoda untuk melawan kita, itu normal, anak akan memberontak. Bila kehidupan kita berbeda dari iman yang kita yakini, besar kemungkinan dia makin termotivasi untuk berontak sekuat tenaga. Tapi kalau dia melihat bahwa kita telah hidup tulus luar dalam, maka dia cenderung menahan diri dan tunduk kepada kita. Jadi penting sekali kemurnian dari Allah, hidup tulus, hidup benar dan tidak ada kepalsuan sehingga anak-anak bisa menghormati kita juga.

GS : Bentuk kemunafikan seperti apa yang seringkali terjadi dan membuat seorang anak itu meninggalkan imannya, Pak Paul ?

PG : Yang paling umum adalah orang tua menyuruh anak melakukan sesuatu yang mereka sendiri tidak bisa melakukannya. Kalau orang tua misalnya si papa hidupnya tidak bertanggung jawab, pulang malam dan tidak memerhatikan keluarga, kemudian marah-marah kepada anak dan menyuruh belajar dan sebagainya, si anak akan langsung berpikir, "Papa sendiri hidupnya tidak bertanggung jawab". Kemudian misalnya si mama memarahi si anak, "Kamu harus belajar, nilainya harus bagus dan sebagainya" seolah-olah mamanya seperti orang yang seperti itu padahalnya mamanya bukanlah seperti itu mulai pagi, siang dan malam selalu menonton televisi dan si anak disuruh belajar seperti itu. Jadi ketidak konsistenan, apa yang disuruh dan diyakini tidak sama. Jadi benar-benar tidak cocok.

GS : Tapi orang tua seringkali menemukan alasan kenapa anaknya menjadi seperti itu yaitu rusak dan selalu yang disalahkan adalah sistem masyarakat, pendidikan, negara dan sebagainya dan tidak menyadari bahwa sebenarnya itu berasal dari rumah mereka sendiri, begitu Pak Paul.

PG : Sudah tentu lingkungan punya pengaruh dan saya juga tidak mau menyangkali bahwa anak-anak bisa dipengaruhi oleh teman-temannya juga. Tapi kitalah yang pertama-tama menyediakan tiang, kitalah yang diberikan kesempatan pertama oleh Tuhan untuk meletakkan dasar dan dasar-dasar yang lain itu sebetulnya tumpukan. Jadi kalau dasar yang kita berikan sudah benar dan kuat, cenderung dasar-dasar yang di atasnya itu tidak akan memberikan pengaruh sebesar dasar yang pertama. Tuhan memberikan kesempatan pada kita yang pertama-tama untuk meletakkan dasar itu, sehingga kita harus melakukannya dengan sebaik-baiknya.

GS : Pak Paul, apakah segi kerohanian ini merupakan satu-satunya alasan keluarga itu berhasil atau tidak ?

PG : Tidak, Pak Gunawan. Kita harus akui bahwa hidup itu lebih luas daripada hal-hal kerohanian, jadi kita harus memerhatikan semuanya, kehidupan emosional kita, kehidupan sosial kita, itu semua memberi pengaruh pada anak-anak, tapi tetap kerohanian memainkan peran yang vital sebab kerohanian merupakan kemudi yang mengarahkan sikap dan perilaku kita.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dampak Rohani pada Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


Ringkasan:

Pada 2008 terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan di kota Oxnard, California. Seorang anak berusia 14 tahun menembak mati temannya, berusia 15 tahun. Apakah yang membuat si anak tega menghabisi nyawa temannya itu? Begini ceritanya. Anak yang ditembak itu adalah Larry, seorang anak yang berperilaku feminin, yang kerap menggoda teman-teman prianya dengan komentar genit. Salah seorang yang mendapat komentar tidak menyenangkan itu adalah Brandon, seorang pemain basket di sekolah. Komentar genit itu membuat Brandon begitu marah. Suatu hari Brandon datang ke sekolah membawa pistol. Di dalam pelajaran bahasa Inggris ia duduk di belakang Larry, lalu menembakkan dua peluru ke belakang kepala temannya itu. Larry pun mati seketika. Siapakah remaja Larry dan siapakah Brandon? Larry, remaja yang feminin itu adalah seorang anak yang diadopsi oleh sebuah keluarga pada usia 2 tahun. Ibunya pecandu narkoba dan ia tidak mengenal siapa ayahnya. Sedang Brandon adalah seorang anak yang dibesarkan dalam rumah yang sarat dengan kekerasan. Ayah dan ibunya sering bertengkar dalam pertengkaran terjadi kekerasan. Akhirnya orang tua Brandon bercerai. Satu hal yang menyedihkan adalah kedua anak itu sebenarnya adalah korban orang tua. Larry, si remaja yang feminin, kerap mencari perhatian karena rupanya ia haus perhatian sedang Brandon hanya tahu mengungkapkan kemarahan lewat kekerasan akibat relasi orang tua yang buruk.

Mungkin kita tidak pernah menjadikan orang korban kejahatan. Sayangnya sering kali kita menjadikan anak korban perbuatan kita. Akibat relasi yang buruk dan mungkin pula akibat karakter yang tak terpuji, kita menjadikan anak korban sehingga sampai bertahun-tahun kemudian, anak mesti menanggung akibatnya.

Itu sebabnya kita harus membangun dan memelihara relasi yang sehat di dalam keluarga. Nah, untuk membangun dan memelihara relasi yang sehat diperlukan kehidupan pribadi yang sehat pula. Dan, kehidupan pribadi yang sehat berawal dari dan harus didukung oleh kehidupan rohani yang sehat pula. Di dalam 2 Korintus 1:12, Rasul Paulus membagikan resep untuk memiliki kehidupan rohani yang sehat. Memang konteks pembicaraan Paulus di sini adalah relasi dengan sesama, namun saya kira kita dapat menerapkan prinsip yang sama ke dalam keluarga. "Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah, bukan oleh hikmat duniawi , tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah."

PERTAMA, KEHIDUPAN ROHANI BERTUMPU PADA PERTANGGUNGJAWABAN KITA KEPADA TUHAN KITA YESUS KRISTUS.
Perhatikan, Paulus merujuk kepada suara hati atau hati nuraninya untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan-nya. Dengan kata lain, Paulus tidak menyebut orang lain untuk membenarkan pengakuannya; ia merujuk kepada suara hatinya sebab memang, suara hati tidak berbohong. Tuhan telah menitipkan hati nurani kepada setiap kita dan lewat nurani, Tuhan menuntun kita ke jalan yang benar. Jika kita ingin hidup sesuai kehendak-Nya maka kita perlu menaati suara Tuhan dan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan.

KEDUA, KEHIDUPAN ROHANI BERTUMPU PADA KEHIDUPAN YANG KUDUS.
Paulus mengatakan bahwa ia telah hidup tulus. Sebenarnya kata "tulus" di sini dapat juga diterjemahkan "kudus" atau "bersih." Kekudusan adalah tulang punggung kehidupan kristiani. Tuhan memerintahkan kita untuk hidup kudus, berarti berbeda dari dunia dan serupa dengan Kristus. Kekudusan berawal dari rasa takut akan Allah dan diwujudkan dalam rasa takut berdosa. Langkah pertama menuju dosa yaitu melihat-lihat dosa. Mulai dari melihat-lihat dosa, akhirnya kita membelokkan arah, berjalan menuju dosa. Banyak korban berjatuhan akibat perbuatan kita yang bergelimang dosa. Ada anak yang telantar gara-gara orang tua hidup dalam dosa. Ada anak menderita gangguan kepribadian dan jiwa oleh karena orang tua hidup dalam dosa. Ada anak kehilangan masa kecil dan masa depan, karena orang tua hidup dalam dosa. Itu sebabnya kita harus hidup takut akan Tuhan dan takut berdosa.

KETIGA, KEHIDUPAN ROHANI BERTUMPU PADA KEBENARAN.
Paulus mengatakan bahwa ia telah hidup dalam kemurnian dari Allah. Kata "kemurnian" dapat pula diterjemahkan "ketulusan"
dan kita tahu arti kata "ketulusan" adalah, sama luar dan dalam. Dengan kata lain, tulus berarti "benar, tidak munafik, tidak ada kepalsuan." Beberapa tahun yang lalu, pimpinan lembaga riset Barna di Amerika mengadakan penelitian di antara kawula muda untuk mengetahui alasan mengapa begitu banyak pemuda yang meninggalkan iman kristiani. Hasil temuannya dibukukan dengan judul, "Unchristian." Ia menemukan, ternyata salah satu alasan mengapa begitu banyak kaum muda meninggalkan iman Kristen adalah dikarenakan kemunafikan yang mereka saksikan di dalam kehidupan orang Kristen. Di dalam berkeluarga kita mungkin harus melewati krisis. Salah satu krisis adalah krisis yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak. Pada saat krisis terjadi, besar kemungkinan anak akan tergoda untuk melawan kita. Bila kehidupan kita berbeda dari iman yang kita yakini, besar kemungkinan ia makin termotivasi untuk memberontak sekuat tenaga. Namun, bila ia melihat bahwa kita telah hidup tulus, ia cenderung menahan diri dan tunduk kepada kita.

Kesimpulan

Memang kehidupan berkeluarga didirikan di atas banyak faktor, bukan hanya kerohanian. Namun demikian, kerohanian memainkan peran yang vital sebab kerohanian merupakan kemudi yang mengarahkan sikap dan perilaku kita. Hidup yang bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, hidup yang kudus, dan hidup yang tulus akan menebarkan berkat besar kepada keluarga.


Questions: